Ayonusa.com – Pulo Lasman Simanjuntak menulis sajak berjudul “Mata Puisi” seperti seorang wartawan eksistensial yang sedang meliput medan perang moral manusia modern.
Ia tidak hanya melaporkan fakta; ia menyuguhkan imaji yang membuat Anda geleng-geleng kepala sambil tersenyum getir.
Dari kabut kota yang menyelimuti jiwa sampai rumah duka sebagai persinggahan iman yang lelah, ini adalah cerita tentang jiwa yang hampir kehabisan daya, namun tetap mencari harapan.
Dengan gaya yang memadukan khotbah rohani dan laporan investigasi, puisi ini adalah narasi kompleks yang membuat kita sadar: mungkin iman kita juga berada di ujung tali.
Di bagian pembuka, “menghitung hari-hari / nyaris buta (cemas!),” Lasman Simanjuntak langsung membawa Anda ke ruang gawat darurat spiritual.
Kota menjadi latar yang muram: ada asap, kabut, dan ketidakpastian. Seperti film noir versi rohani, elemen-elemen ini menggugah pertanyaan, “Apa yang salah dengan dunia?”
Namun, Lasman Simanjuntak tidak memberi jawaban mudah. Ia hanya berkata, “terus kususuri menuju rumah ibadah.” Tetapi rumah ibadah ini bukan katedral megah di kartu pos instagram anda. Tempat ini lebih mirip pos perbatasan di tengah perang, di mana jiwa yang “digerogoti ulat-ulat beracun” berharap pada mukjizat.
Mukjizat? Baiklah, semoga beruntung.
Bagian kedua membawa Anda lebih dalam, seperti laporan investigasi tentang konsumsi moral yang tidak terkendali.
“Mulutku yang membusuk / telah menelan rakus,” kata narator, dan Anda langsung paham bahwa ini tidak hanya tentang makanan haram atau minuman manis. Ini adalah representasi gaya hidup modern yang kita semua tahu salah, namun tetap kita jalani.